Peringatan Tegas Imam Muslim tentang Larangan Berdusta atas Nama Nabi
Peringatan Tegas Imam Muslim tentang Larangan Berdusta atas Nama Nabi adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Syarah Muqaddimah Shahih Muslim. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Emha Hasan Ayatullah pada Kamis, 5 Jumadil Awal 1446 H / 7 November 2024 M.
Kajian Islam Tentang Peringatan Tegas Imam Muslim tentang Larangan Berdusta atas Nama Nabi
Pada pertemuan sebelumnya, kita telah membahas kewajiban dan tanggung jawab seorang mukmin untuk meriwayatkan hadits yang shahih. Imam Muslim, prihatin dengan tersebarnya hadits-hadits yang tidak shahih di tengah masyarakat awam, sehingga akhirnya berjuang menyebarkan hadits-hadits shahih di masyarakat sebagai tanggapan atas fenomena tersebut.
Pada kesempatan ini, kita akan membahas باب تغليظ الكذب على رسول الله صلى الله عليه وسلم (peringatan tegas dari Imam Muslim terkait larangan berdusta atas nama Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam). Berdusta merupakan dosa besar, bahkan menjadi salah satu ciri kemunafikan. Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan dalam Syarah hadits أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَلَّةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَلَّةٌ مِنْ نِفَاقٍ حَتَّى يَدَعَهَا, bahwa ada empat sifat yang menunjukkan kemunafikan. Jika seseorang memiliki keempat sifat itu, maka ia termasuk munafik sejati. Namun, jika hanya memiliki sebagian, maka ia memiliki sifat kemunafikan sesuai kadar sifat tersebut.
Oleh karena itu, sifat kemunafikan, termasuk berdusta, dapat menjangkiti seorang mukmin, terutama ketika keimanannya sedang menurun. Adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitabnya Al-Kabair (Kumpulan Dosa-Dosa Besar) mengategorikan berdusta sebagai dosa besar, dan dalilnya sangat banyak. Namun, berdusta atas nama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah dosa yang lebih parah dibandingkan berdusta dalam percakapan biasa. Dosa ini menjadi lebih besar ketika seseorang mengatasnamakan Nabi pada sesuatu yang beliau tidak katakan.
Apalagi, Imam Muslim rahimahullah dalam Mukadimahnya menyebutkan hadits dari lima orang sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bahkan, sahabat pertama, Imam Muslim sampai menyebutkan dengan dua jalur. Dan pada hakikatnya, hadits ini diriwayatkan setidaknya tidak kurang 60 sahabat (dikenal dengan hadits mutawatir), sehingga keotentikannya tidak perlu diragukan. Imam Muslim menyebutkan dengan sanad yang jelas dari guru-gurunya tentang peringatan yang beliau tegaskan terhadap siapa saja yang berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, meskipun dengan niat baik.
Imam Muslim rahimahullah menyebutkan dalam mukadimah kitabnya bahwa ia memiliki prinsip yang tegas dalam memilih hadits untuk dimasukkan dalam Shahih Muslim. Beliau menyatakan bahwa hanya akan meriwayatkan dari perawi yang terpercaya dalam agama, kuat hafalannya, dan minim kesalahan. Imam Muslim menghindari periwayatan dari perawi yang hafalannya lemah atau yang sering melakukan kesalahan, sebab beliau mengutamakan keabsahan riwayat dalam Shahih Muslim.
Adapun dalam mukadimah kitabnya, yang ditulis di belakang, setelah bagian utama Shahih Muslim, beliau kadang meriwayatkan hadits yang diperbincangkan atau yang tidak mencapai derajat shahih. Misalnya, dalam pertemuan sebelumnya, kita telah membahas hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, yang menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُنَزِّلَ النَّاسَ مَنَازِلَهُمْ
“Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kami untuk menempatkan dan menghormati seseorang sesuai kapasitasnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan sanad yang mencantumkan Maimun bin Abi Syabib. Namun, sanad tersebut diperdebatkan oleh para ulama karena Maimun belum pernah mendengar langsung dari Aisyah, sehingga periwayatannya terputus. Meskipun demikian, dalam mukadimahnya, Imam Muslim tidak mensyaratkan haditsnya harus shahih, karena mukadimah tersebut dimaksudkan sebagai penguat saja. Sedangkan hadits-hadits yang shahih dipilih untuk dimasukkan dalam Shahih Muslim.
Kita akan membaca riwayat dari Imam Muslim rahimahullah. Beliau meriwayatkan:
وحدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا غندر عن شعبة ح وحدثنا محمد بن المثنى وابن بشار قالا حدثنا محمد بن جعفر حدثنا شعبة عن منصور عن ربعي بن حراش أنه سمع عليا رضي الله عنه يخطب قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تكذبوا علي فإنه من يكذب علي يلج النار
“Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Ibn Abi Syaibah, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Gundar dari Syu’bah.” ح Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad Ibn Al-Mutsanna dan Ibn Basyar, mereka berdua berkata, “Telah menceritakan kepada kami Muhammad Ibn Ja’far, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Manshur, dari Rib’i Ibn Hirasy, bahwa ia mendengar Ali Radhiyallahu ‘Anhu berkhutbah, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Janganlah kalian berdusta atas namaku. Karena sesungguhnya yang berdusta atas namaku, maka ia akan masuk neraka.‘” (HR. Muslim)
Abu Bakar Ibn Abi Syaibah adalah guru Imam Muslim, dan banyak sekali riwayat Imam Muslim yang berasal dari beliau.
Selanjutnya, disebutkan “Ghundar”, beliau adalah Muhammad Ibn Ja’far. Pada jalur periwayatan yang kedua, ia disebut dengan nama lengkap Muhammad Ibn Ja’far. Beliau adalah murid Syu’bah yang paling memahami hadits-hadits dari gurunya ini, yakni Syubah Ibn Hajjaj. Syubah Ibn Hajjaj adalah seorang ulama yang disebut sebagai Amirul Mukminin fil Hadits.
Adz-Dzahabi, dalam Siyar A’lam An-Nubala, menuturkan kisah Muhammad Ibn Ja’far, yang mengatakan, “Aku belajar kepada guruku, Syu’bah, selama 20 tahun.” Ini menunjukkan betapa panjangnya waktu yang dihabiskan oleh para ulama untuk menimba ilmu dari guru-guru mereka. Mereka tidak sekadar hadir mendengarkan tanpa perhatian, seperti menghadiri majelis umum atau sekadar “pengajian kuping.” Para ulama membawa kitab, mencatat, dan menelaah kembali bila ada kekeliruan. Inilah metode belajar mereka—mempelajari hadits dengan tekun dan serius selama bertahun-tahun. Subhanallah.
Selanjutnya, dalam periwayatan ini, Imam Muslim ketika mempunyai dua jalur periwayatan, maka beliau akan menyebutkan secara bersamaan, tetapi memisahkannya menggunakan simbol “ح” atau disebut tahwil. Tahwil digunakan untuk menunjukkan perpindahan sanad dengan tujuan menyingkat sanad tersebut. Dengan tahwil, Imam Muslim hanya menyebutkan satu jalur sampai pada titik pertemuan dengan jalur kedua, sehingga kedua sanad dapat diringkas dan tetap dipahami dengan jelas.
Bagaimana pembahasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak penjelasan yang penuh manfaat ini..
Download MP3 Kajian
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54685-peringatan-tegas-imam-muslim-tentang-larangan-berdusta-atas-nama-nabi/